Senin, 15 Maret 2010

My Essai


Nama              : Stefananda Ade P
Kelas/NIM        : I-1/0911240086
Prodi                 : Hubungan Internasional
Dosen              : M. Faishal Aminuddin, SS., M.Si.

Calon Independen dalam Demokrasi di Indonesia
Gegap gempita masa reformasi Indonesia masih terasa hingga sekarang, uforia reformasi telah memberi peluang bagi masyarakat umum di Indonesia untuk bisa menjadi salah satu pejabat daerah yaitu menjadi seorang kepala daerah. Walaupun peluang tersebut kini telah terbuka, akan tetapi jalan untuk meraih hal tersebut sangatlah tidak mudah karena harus memenuhi beberapa syarat untuk bisa melaju ke putaran pilkada.
Sebelum terlalu jauh membahas tentang kiprah atau peluang calon independen dalam demokrasi di Indonesia, ada baiknya kita mengenal dulu apa arti dari calon independen itu sendiri. Calon independen adalah seseorang yang akan mengikuti sebuah pemilihan kepala pemerintahan atau kepala daerah yang bukan merupakan calon yang diusung partai politik atau koalisi partai politik (tanpa terikat partai politik) dan merupakan calon yang diusung berdasarkan dukungan dari masyarakat umum atau biasa. Jadi pada intinya seorang calon independen maju dalam putaran pemilihan kepala pemerintahan atau pemilihan kepala daerah atas dukungan dari rakyat biasa. Nah, bukan hanya dukungan masyarakat saja seorang calon independen bisa maju dalam sebuah pemilihan umum melainkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di Negara kita, Indonesia, calon independen hanya bisa mengikuti kompetisi pemilihan kepala daerah saja atau lebih dikenal kita dengan sebutan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Untuk saat ini  calon independen belum bisa mengikuti pemilihan kepala Negara karena terbentur UUD 1945 dan rumitnya persoalan yang akan dihadapi jika hal itu dilakukan. Kembali ke masalah arti calon independen, calon independen juga merupakan calon yang mendesain atau membuat sebuah visi dan misi sendiri dan dia akan memperjuangkan visi misinya sendiri juga, jangan salah mengartikan hal ini. Yang dimaksud adalah calon tersebut tidak sendirian dalam membuat dan memperjuangkan sebuah visi misi, pastinya ada pihak –  pihak yang membantu. Pihak-pihak tersebut bukan lah dari sebuah partai politik atau koalisi parpol melainkan dukungan - dukungan atau sokongan – sokongan dari masyarakat umum yang menginginkan pihak tersebut (calon independen) untuk menjadi seorang kepala daerah. Hal ini barangkali karena ketidakpuasan atau menurunnya kepercayaan masyarakat kepada kepala daerah yang diusung dari  beberapa partai politik. Masyarakat sekarang lebih pintar dalam melihat kondisi perpolitikan baik di pemerintahan pusat maupun daerah, barangkali masyarakat curiga  terhadap mereka karena si kepala daerah yang diusung beberapa partai politik itu hanya mementingkan kepentingan sendiri maupun kepentingan partainya, masyarakat seakan tidak puas akan hal itu.
Kembali ke masalah calon independen, untuk maju ke putaran pemilihan kepala daerah. Calon independen harus memenuhi beberapa syarat yang tertuang dalam UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah. Berikut ini merupakan persyaratan calon independen untuk calon walikota (cawali) atau cabup (calon bupati) :

1.      Menyetor bukti dukungan berupa
1.1.Fotokopi KTP/Kartu Keluarga/Surat Domisili
1.2.Surat dukungan di atas materai
2.      Jika penduduknya sampai dengan 250.000 jiwa, sekurang-kurangnya didukung 6,5 persen dari jumlah penduduk
3.      Jika penduduknya lebih dari 250.000 jiwa sampai dengan 500.000 jiwa, sekurang-kurangnya didukung 5 persen dari jumlah penduduk
4.      Jika penduduknya lebih dari 500.000 jiwa sampai dengan 1.000.000 jiwa, sekurang-kurangnya didukung 4 persen dari jumlah penduduk
5.      Jika penduduknya lebih dari 1.000.000 jiwa atau lebih, sekurang-kurangnya didukung 3 persen dari jumlah penduduk
6.      Jumlah dukungan itu tersebar di lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah kecamatan yang ada di kabupaten/kota dimaksud.
(dikutip dari harian Surya, Selasa, 15 Desember 2009)
Berikut persyaratan bagi calon gubernur (cagub)
1.      Untuk provinsi bependuduk 2 juta jiwa harus didukung minimal 6.5 % dari populasi
2.      Untuk provinsi berpenduduk 2 – 6 juta jiwa harus didukung minimal 5 % dari populasi
3.      Untuk provinsi berpenduduk 6 – 12 juta jiwa harus didukung minimal 4 % dari populasi
4.      Untuk provinsi berpenduduk 12 juta jiwa atau lebih harus didukung minimal 3 % populasi
            Membaca syarat – syarat yang tertuang dalam UU 15 tahun 2008 di atas, betapa rumitnya seorang calon independen untuk bisa melaju ke putaran pemilihan kepala daerah (pilkada). Melihat persyaratan tersebut tentunya kita sudah bisa membaca atau menafsirkan jika seorang calon independen haruslah yang sudah mempunyai figur yang kuat di hati masyarakat daerahnya dan tentunya haruslah dari kalangan orang berduit atau kaya. Bila melihat persyaratan nomor satu, berapa biaya yang harus dikeluarkan seorang calon independen untuk memfotokopi KTP/Kartu Keluarga/Surat Dukungan dari ribuan penduduk kota atau kabupaten dan berapa ribu materai yang harus dibeli untuk persyaratan surat dukungan kepada si calon tersebut. Mungkin saja untuk fotokopi KTP/Kartu Keluarga/Surat Dukungan saja biayanya mencapi ratusan juta rupiah dan untuk membeli ribuan materai bisa mencapai miliaran rupiah, jumlah tersebut sangatlah fantastis. Belum juga masalah pembiayaan kampanye, tim sukses dan lain - lain. Itu hanya untuk seorang cawali atau cawabup, belum lagi seorang calon independen yang mencalonkan diri sebagai calon gubernur, pastinya akan lebih rumit dan sulit sekali mengingat jumlah penduduk yang lebih banyak otomatis persentase syarat dukungan juga lebih banyak. Otomatis juga biaya yang dikeluarkan lebih banyak lagi, bisa mencapai ratusan milyar rupiah. Disamping itu juga perlu dilakukan kerja ekstra keras dari tim sukses dan pastinya memerlukan waktu yang ekstra lama juga. Maka bisa dilihat kalau mungkin hanya pada provinsi – provinsi yang mempunyai penduduk sedikit saja akan bermunculan calon – calon independen yang maju dalam putaran pilkada.
            Bagi beberapa calon independen beberapa syarat – syarat tersebut sangatlah memberatkan karena sulitnya untuk meminta fotokopi sebuah KTP saja dari beberapa warga, mungkin saja ada beberapa warga yang tidak mau secara cuma – cuma atau dengan sukarela KTP nya difoto kopi. Pastinya ada biaya – biaya di luar dugaan. Kalau calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik pastinya syarat – syarat lebih mudah dan tidak serumit ini, juga pembiayaan yang dilakukan pastinya ada dana tersendiri dari partai – partainya. Salah satu calon walikota Surabaya dari kalangan independen pernah menggugat Mahkamah Konstitusi terkait masalah beratnya persyaratan yang harus dipenuhi yaitu mengenai persentase dukungan dari jumlah populasi penduduk. Dia menganggap persyaratan ini hanya akal - akalan saja untuk menghambat orang mencalonkan diri. Dia meminta persentase dukungan dari populasi penduduk dikurangi. Menurut saya jika gugatan si calon walikota ini menang maka akan banyak bermunculan calon – calon independen baru, lebih banyak lagi orang yang mempunyai kesempatan untuk maju mencalonkan diri. Tetapi kita harus melihat dampak negatifnya juga, jika banyak calon independen baru bermunculan maka akan banyak pula yang akan melaju ke putaran final pilkada. Hal ini tentunya bukan kabar yang menggembirakan, karena kita harus bersabar dalam melalui tahap demi tahap pilkada mengingat banyaknya calon kepala daerah tersebut. Disini dibutuhkan juga kerja ekstra keras dari KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah), mungkin saja pilkada tidak bisa berlangsung dalam 1 (satu) putaran, bisa – bisa mencapai 2 (dua) putaran bahkan lebih. Mengingat syarat untuk memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) harus memperoleh presentase suara lebih dari 50 % (lima puluh persen). Hal ini tentunya bisa menguras uang dari pemerintahan daerah karena berkali – kali harus melangsungkan pilkada, disamping itu juga masyarakat sudah mulai jenuh atau bosan jika pilkada tidak selesai – selesai. Ada sesorang berpendapat dalam sebuah artikel tentang ketidaksetujuannya jika syarat dari calon independen diperlunak persyaratannya, menurutnya “bila dari PARPOL maka syaratnya harus minimal 15 % dari total pemilih, sedangkan calon independen dapat lebih rendah. Apakah mudah bagi Partai Politik untuk memperoleh persyaratan 15 % tersebut? Berapa waktu, biaya dan sumberdaya manusia yang dibutuhkannya? Jadi sangatlah Naif bila Calon Independen diperlakukan istimewa dan khusus.” (dikutip dari http://forum-politisi.org/artikel/article.php?id=486). Menurut saya memang ada baik buruknya jika Mahkamah Konstitusi (MK) memenangkan gugatan dari calon independen cawali Surabaya ini. Hal ini bisa menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan mengingat banyak sekali orang – orang yang berniat memilih jalur independen dan memprotes tentang salah satu syarat ini, disamping itu juga partai politik tidak mau jika persyaratan calon independen diperlunak karena mereka mengangap jika syarat dari calon yang mereka usung juga berat.
            Berdasarkan beberapa berita mengenai calon walikota/bupati yang secara independen yang maju dalam pilkada di beberapa daerah di Jawa Timur. Ada beberapa yang merupakan jebolan dari partai politik yang gagal dalam pencalonan yang diusung partainya. Mereka memilih jalur alternatif yaitu jalur independen, tetapi mereka tidak serta merta langsung mencalonkan diri sebagai calon independen. Mereka melihat terlebih dahulu apakah ada peluang atau celah bagi mereka untuk mendapatkan surat dukungan dari masyarakat setempat, terlebih lagi jika mereka juga harus mempunyai figur yang baik atau daya tarik bagi masyarakat setempat. Salah satu contohnya adalah HM Wahyudin Husein SH, MH, beliau adalah calon bupati Gresik. Menurutnya untuk melalui jalur independen sangat mudah dan murah baginya, pertama mudah karena ia optimis bisa mendapatkan 40.000 dukungan masyarakat melalui fotokopi KTP yang tersebar di 200 buah desa. “Kalau itu bagi saya sangat mudah, karena pendukung saya tersebar di 200 desa,”akunya. Yang kedua, baginya jalur independen sangat murah karena ia cukup menempelkan materai Rp 6.000, di setiap lembar dukungan untuk setiap desa. Bila dukungan dari 200 desa, berarti ia butuh uang tunai Rp 120 juta untuk membeli materai. “Jalur independen ibaratnya sekoci politik saya. Saya sudah mengunjungi hampir semua kecamatan dan desa, saya mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat. Banyak jalan menuju Roma, “tuturnya. (dikutip dari harian Surya, Selasa, 15 Desember 2009). Menurut saya bukan hanya dukungan dari masyarakat saja, tetapi kepercayaan diri dan daya tarik pula yang harus dipakai sebagai kendaraan calon independen dalam pilgub, pilwali maupun pilbub. Hal ini sangat penting mengingat hal inilah yang bisa meraih hati rakyat kecil untuk bisa memilihnya atau memenangkannya. Di samping itu pula si calon independen harus bisa mengambil atau memasuki celah – celah dari kelemahan calon yang diusung partai politik sehingga si calon independen ini tidak dipandang sebelah mata atau diragukan kepempimpinannya seandainya dia memenangkan sebuah pemilihan kepala daerah.

Lalu mengapa calon independen tidak boleh menjadi capres (calon presiden) di Indonesia ?
Dalam UUD 1945 perumusan pasal 6A ayat (2) yang menyatakan kalau calon presiden dan calon wakil presiden hanya boleh diusung atau diusulkan oleh partai politik atau koalisi partai politik. Jadi secara konstitusional hal itu tidak mungkin bisa dilakukan sebelum adanya perubahan mengenai pasal tersebut. Jikalau pasal tersebut sudah diamandemen kembali yang isinya memperbolehkan calon independen mengikuti pilpres (pemilihan presiden), maka tidak serta merta masalah ini selesai begitu saja, akan ada banyak pro kontra maupun permasalahan – permasalahan lain yang bermunculan. Mulai perdebatan antara partai politik dan calon independen maupun perdebatan mengenai persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh si calon presiden dari kalangan independen. Saya ambil contoh saja masalah pembiayaan atau dana, penduduk Indonesia saat ini mencapai kurang lebih 200 juta jiwa dan calon independen harus mencari surat dukungan atau fotokopi KTP dan lain-lain kurang lebih 5 % dari populasi penduduk di Indonesia. Maka sekitar 10 juta surat dukungan dan fotokopi KTP yang harus dikumpulkan oleh calon independen dari 33 provinsi di Indonesia, sehingga berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh calon independen untuk melakukan hal – hal tersebut, belum lagi tenaga yang dikuras dan waktu yang sangat lama diperlukan. Belum lagi KPU (komisi pemilihan umum) yang mungkin akan kesulitan untuk mendata atau mengkoreksi persyaratan – persyaratan itu.

Pernah ada wacana dari DPD (Dewan Perwakilan Daerah) pada saat rapat dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Pusat mengenai Pemilu (Pemilihan Umum) 2009 tentang diperbolehkannya seorang calon dari kalangan independen untuk bisa atau boleh mengikuti kompetisi Pilpres 2009. Hal ini tentunya menimbulkan pro dan kontra tersendiri bagi anggota DPD maupun DPR Pusat. Sebagian besar tidak menyetujui langkah besar ini dengan berbagai alasan. Sebagian besar alasannya karena isi dari Pasal 6A ayat 2 (dua) UUD 1945 mengenai ketentuan capres dan cawapres yang akan mengikuti pilpres haruslah mempunyai kendaraan partai politik atau dicalonkan dari partai politik maupun gabungan partai politik. Menurut saya hal ini sangat bertolak belakang mengenai hak warga Indonesia yang tertuang pada Pasal 28 D UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan. Saya berkesimpulan seharusnya setiap warga Negara Indonesia memang mempunyai hak yang sama untuk ikut dalam pemerintahan dan menjalankannya dalam hal kata lain menjadi seorang presiden. Di samping itu juga ada yang beralasan karena tidak atau belum siapnya sistem politik di Indonesia, perlu adanya juga instrument atau sarana yang memadahi serta perbaikan sistem pemilu. Tentunya hal ini tidak bisa diwujudkan dalam pilpres 2009 kemarin karena membutuhkan waktu dan adaptasi yang sangat lama. Mahkamah Konstitusi pernah menolak salah satu gugatan dari seseorang tentang boleh tidaknya seorang calon independen ikut dalam pilpres 2009, hal – hal di atas lah yang mendasari ditolaknya gugatan tersebut. MK berpendapat bahwa calon presiden dari kalangan non parpol atau independen dapat diwujudkan pada pemilu 2014. Kita lihat saja nanti apakah hal ini bisa diwujudkan atau tidak. Saya sendiri merasa pesimis hal itu bisa dilakukan, mengingat kita berkaca pada pemilu 2009 yang telah berlangsung beberapa bulan yang lalu betapa rumitnya sistem perpolitikan dan carut - marutnya sistem pemilu di Indonesia.

Di tengah akan kejenuhan penduduk Indonesia terhadap calon presiden yang berasal dari partai politik, seharusnya ada suatu jalan keluar dari masalah itu. Masyarakat sudah mulai jenuh, karena mungkin hanya kandidat itu – itu saja yang akan maju sebagai capres atau cawapres pada pemilu 2014 nanti. Masyarakat menilai calon – calon dari partai politik kebanyakan hanya ditunggangi oleh kepentingan partainya maupun kolega – kolega partainya. Calon – calon yang diloloskan parpol mungkin saja bukan yang diharapkan masyarakat, kebanyakan menilai bahwa kompetisi pencalonan dari parpol siapa yang dimenangkan adalah siapa yang mempunyai kontribusi besar untuk partainya. Ada tarik ulur kepentingan dalam pemilihan calon tersebut, sehingga masyarakat mulai ragu akan figur pemimpin yang berasal dari suatu partai  politik.  Masyarakat pada dasarnya menginginkan seorang figur pemimpin yang lebih mengepentingkan kepentingan masyarakat banyak daripada kepentingannya sendiri maupun kelompok. Majunya sistem demokrasi Indonesia saat ini berpeluang besar dalam melahirkan atau memunculkan calon – calon independen ke depan, hal ini menurut saya sangat positif karena persaingan antar calon baik yang berasal dari parpol maupun non parpol sangat berkompeten atau sengit. Hal ini bisa melahirkan adanya pemimpin baru yang berkompeten dan bisa membuat sistem demokrasi di Indonesia menjadi semakin maju. Seandainya pada pemilihan presiden pada tahun 2014 nanti calon independen bisa mengikuti pemilihan presiden tentunya hal ini bisa menjadi tonggak sejarah baru dunia demokrasi di Indonesia.

Calon Independen di Mata Partai Politik (Parpol)
            Pertengahan tahun 2007, Mahkamah Konstituti (MK) membuat terobosan besar dalam dunia demokrasi politik di Indonesia, dengan tegas Mahkamah Konstituti (MK) membuat kebijakan tentang bisanya atau bolehnya calon independen untuk mengikuti kompetisi Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) secara langsung di seluruh wilayah nusantara Indonesia. Mahkamah Konstitusi telah merevisi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah yang tidak memperbolehkan atau menutup peluang calon independen dalam Pemilihan Kepala Daerah (pilkada). Menurut penilaian salah satu Parpol yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) keputusan MK merupakan sebuah langkah yang terburu-buru. Melalui opini yang disampaikan Sekjen DPP PPP, Irgan Chairul Mahfiz, keputusan tersebut terkesan lahir dari kajian yang tidak komprehensif. Keputusan ini juga berpotensi menumbuhkan krisis kepercayaan terhadap partai politik, seolah-olah partai politik sudah tidak mampu lagi melakukan tugas dan fungsinya dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat (dikutip dari http://forum-politisi.org/). Menurut saya, terobosan yang dilakukan MK sangat bagus, masalah ini bukanlah kiasan mengenai hilangnya kepercayaan rakyat terhadap partai politik sehingga direvisinya undang-undang ini, sebenarnya justru hal ini bertujuan agar untuk memecah kebuntuan tentang hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik agar kepercayaan yang hilang itu bisa tumbuh lagi. Seharusnya hal ini bisa mengakibatkan dampak positif tersendiri bagi dunia demokrasi atau perpolitikan di Indonesia yaitu partai politik secara mau tidak mau harus bersaing dengan calon independen dalam pilkada, sehingga partai politik harus bekerja keras untuk meningkatkan kinerjanya baik dalam lingkup kepartaian sendiri maupun melalui wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Justru dengan begitu terbuka peluang dari partai politik untuk meraih simpati yang besar dari masyarakat dalam mengikuti Pilkada.
Telah sewajarnya jika keputusan Mahkaman Konstituti (MK) tersebut menimbulkan pro dan kontra tersendiri bagi kalayak umum terutama bagi politisi maupun partai politik. Beberapa partai politik sendiri menganggap bahwa hal ini merupakan sebuah peringatan besar, karena hal tersebut menunjukkan bahwa turunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik atau kredibilitas partai politik tersendiri telah jauh merosot. Sebenarnya partai politik sendiri seharusnya tidak terlalu menanggapi hal ini secara berlebihan maksudnya partai politik harus bijak dalam menanggapi hal ini, tidak perlu melakukan protes-protes secara berlebihan dalam kata lain terlalu mengkritisi hal ini. Partai politik sebenarnya juga jangan terlalu takut akan hal ini, menurut saya yang ditakutkan partai politik adalah calon-calon yang diusung partai politik kalah dalam kompetisi pilkada melawan calon independen. Bisa dilihat saat ini, calon yang diusung partai politik sebenarnya lebih mempunyai kredibilitas tinggi di mata masyarakat atau lebih terkenal lah, juga mekanisme atau cara kerja keorganisasian partai politik merupakan peranan besar sehingga bisa membuat kemenangan bagi calonnya. Pada intinya, calon independen mempunyai peluang yang lebih kecil dari calon yang diusung partai politik untuk memenangkan suatu pemilihan kepala daerah (pilkada) di suatu daerah. Tetapi bukan berarti seorang calon independen tidak mempunyai peluang untuk memenangi sebuah pilkada, asalkan si calon independen tersebut mempunyai figur yang kuat di kalangan masyarakat dan mempunyai karisma atau daya tarik tersendiri. Disamping itu juga kinerja atau mekanisme tim sukses dari calon independen harus terorganisir dengan baik dan mempunyai mekanisme kerja yang baik pula. Menurut politisi Partai Golkar yang saya kutip dari salah satu koran harian, “Politisi Partai Golkar Unggul Prabawa menyatakan kemunculan calon independen belum menjadi ancaman serius bagi parpol. Munculnya calon independen dianggapnya proses alamiah seiring dengan proses demokratisasi. “Tidak masalah muncul calon independen,”kata Ketua DPD Partai Golkar Sidoarjo ini. Munculnya calon independen dalam pilkada malah membuat semangat para politisi terus menyuguhkan yang terbaik sehingga parpol terus dipercaya public. Soal calon independen. Unggul bahkan pesimistis muncul dalam Pilkada Sidoarjo mendatang.” (dikutip dari harian Surya, Selasa, 15 Desember 2009)


Calon Independen di Mata Publik
Bermunculannya calon – calon independen yang mengikuti pemilihan kepala daerah seakan menjadi angin segar bagi masyarakat umum di saat tingkat kepercayaan masyarakat pada partai politik mulai turun. Sehingga calon – calon independen ini menjadi sebuah pengharapan yang besar bagi masyarakat umum untuk bisa memperjuangkan aspirasinya atau nasibnya. Mereka sebagian percaya jika calon independen ini bisa menjadi seorang kepala daerah tanpa ditunggangi oleh kepentingan sebuah partai politik. Masyarakat pada saat ini umumnya melihat, kepala daerah yang diusung atau berasal dari partai politik hanya mementingkan kepentingan partainya dan kurang bisa mengapresiasi kepentingan rakyat pada umumnya. Hal inilah yang menurut saya merupakan sebab turunnya tingkat apresiasi rakyat terhadap partai – partai politik, hanya janji – janji palsu kampanye dan ketidaknetralan kepempimpinannya. Mereka juga menganggap para kepala daerah terlalu sibuk menggalang kekuatan politik saja.
Kehadiran seorang calon independen bisa meningkatkan tingkat persaingan dalam sebuah pemilihan kepala daerah. Masyarakat kini seakan membutuhkan sebuah kompetisi persaingan politik tingkat tinggi agar bisa mendapatkan atau melahirkan seorang pemimpin baru yang berkompeten dan mempunyai figur pemimpin yang tangguh.  Bagaimana jika seorang calon independen menang dalam sebuah pilkada ? Sebagai masyarakat yang melek akan politik seharusnya memikirkan hal ini, sebab mungkn saja terjadi akibat – akibat yang ditimbulkan. Menurut saya, salah satunya mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang semua anggotanya adalah berasal dari partai politik dan mewakili partainya, hal inilah yang ditakutkan mengingat kepala daerah yang terpilih berasal dari independen, seorang yang bisa dikatakan netral. Mungkin saja kepala daerah tersebut akan menemui kesulitan – kesulitan dalam memutuskan suatu kebijakan – kebijakan publik yang mana kebijakan – kebijakan itu dikeluarkan oleh seorang kepala daerah dan harus di setujui oleh lembaga legislatif. Nah, hal inilah yang menjadi masalah, kita tahu kalau terjadi perdebatan sengit  mengenai calon independen dan partai politik. Kemungkinan kepala daerah tersebut akan kuwalahan dalam menghadapi DPRD. Oleh karena itu, kepala daerah tersebut haruslah mempunyai kredibilitas yang tinggi dan mampu membawa dan membuat kebijakan yang baik serta mampu mengayomi agar kepala daerah tersebut dipermainkan. Di samping hal-hal di atas, salah satu yang mungkin bakal terjadi yaitu dimana anggota DPRD mempermainkan atau menyalahgunakan kepercayaan yang ada dari kepala daerah kepadanya. Mungkin saja anggota DPRD mempunyai sebuah kepentingan tak netral (kepentingan khusus) dan mewujudkannya dengan cara menyalahgunakan kepercayaan yang sudah ada. Hal ini bisa mengakibatkan kepala daerah tersebut kesulitan dalam menjalankan kewjibannya atau pekerjaannya karena tidak adanya dukungan konkret atau nyata dalam parlemen.
Lalu apa yang terjadi jika calon independen tersebut gagal membawa pengharapan masyarakat umum (seperti yang dijelaskan sebelumnya) setelah terpilih menjadi seorang kepala daerah ?  Inilah yang harus dipikirkan seorang calon independen yang menjabat sebagai kepala daerah, di saat kepercayaan masyarakat sedang tinggi – tingginya terhadap seorang calon independen yang terpilih, maka seharusnya calon independen yang terpilih jangan mempermainkannya dan berusaha untuk menjaga kepercayaan tersebut. Sebab sebuah kepercayaan dari seseorang, kelompok maupun masyarakat sangat mahal harganya dan akan sulit mendapatkannya kembali jika kepercayaan tersebut sudah luntur. Perlu perjuangan ekstra keras dan waktu yang sangat lama untuk mendapatkannya kembali. Mungkin saja dalam pemilihan kepala daerah selanjutnya, calon – calon independen yang maju bisa kalah dalam kompetisi pilkada dan masyarakat lebih memilih kembali calon – calon yang berasal dari partai politik dimana pada saat kepercayaan publik turun terhadap calon independen, mereka bisa memanfaatkan hal tersebut untuk meraih kembali kepercayaan publik dengan cara meningkatkan kinerjanya dan mempunyai seorang calon yang tidak diragukan lagi  kepempimpinannya atau berkompeten. Lalu apa seorang calon independen tidak bisa lagi menang dalam sebuah pilkada ? Pastinya hal itu tidak benar, barangkali ada sebuah kesempatan lagi untuk meraih hati rakyat. Jadi seorang calon independen yang sedang menjabat sebagai kepala daerah harus ekstra hati – hati dalam bekerja untuk membuat sebuah kebijakan karena memikul tanggung jawab yang besar.

Indonesia merupakan salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia, apa yang terjadi dalam kondisi perpolitikan di Indonesia selalu menjadi sorotan utama. Apa saja bisa terjadi dalam sistem demokratisasi, karena setiap warga berhak untuk mengikuti atau ikut serta dalam menjalankan suatu roda pemerintahan baik di pusat maupun daerah, entah itu menjadi seorang presiden, wakil presiden, gubernur, walikota maupun bupati. Prisnsip dari demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Tetapi apakah prisnsip demokrasi terdebut sudah dijalankan atau diterapkan dengan benar di Indonesia saat ini, bisa dilihat sendiri saat ini bagaimana kondisi carut - marut perpolitikan di Indonesia. Pemerintahan seakan tidak berpihak kepada rakyat, tidak dijalankan oleh rakyat sendiri melainkan dijalankan oleh beberapa oknum yang mempunyai suatu otoritas yang tinggi. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, apa hanya karena suatu pencapaian  kepentingan pribadi atau partai politiknya. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat sendiri mulai luntur kepercayaannya terhadap figur seorang pemimpin yang berasal dari partai politik maupun terhadap partai politik itu sendiri. Kejenuhan inilah yang menyebabkan munculnya figur – figur baru yang diharapkan publik untuk membawa kesejahteraan sendiri bagi mereka tanpa ditunggangi kepentingan pribadi maupun kelompok. Munculnya calon – calon pemimpin non – parpol membawa pengharapan tersendiri bagi masyarakat. Calon independen tersendiri mempunyai peluang besar untuk membangun rumah bersama bukan rumah sendiri. Hal itu sangatlah tidak mungkin jika seorang pemimpin yang berasal dari non parpol tersebut bekerja sendiri tanpa adanya bantuan atau dukungan dari parlemen. Anggota parlemen sendiri berasal dari partai politik, jadi dibutuhkan suatu sinkronisasi antara seorang kepala daerah dan parlemen agar jalan roda pemerintahan berjalan lancar. Kepala daerah tersebut harus mampu mengayomi semua bagian atau unsur roda pemerintahan, sehingga tidak adanya suatu kondisi perpolitikan yang rumit serta mampu mewujudkan pengharapan masyarakat tersendiri.
Semoga pro dan kontra yang timbul karena masalah – masalah di atas bisa menjadi sarana perbaikan tersendiri bagi kemajuan dunia demokrasi di Indonesia, mengingat saat ini tahap demokrasi di Indonesia menuju ke tahap yang lebih baik. Saya sendiri menyadari masih banyaknya kelemahan – kelemahan dalam sistem demokrasi di Indonesia yang belum bisa mewujudkan pengharapan masyarakat pada umumnya. Kita patutnya menyadari sebuah proses atau kemajuan tidak akan berhasil jika tidak ada suatu mekanisme dan sinkronisasi antar unsur – unsur yang melingkar di dalamnya.

Senin, 20 Juli 2009

Bom Oh Bom

Padahal selama 5 tahun ini Indonesia sudah aman, damai, sejahtera. Sedih banget rasanya melihat kejadian "super" ini terjadi lagi. Tapi apa mau dikata "nasi sudah menjadi bubur". T_T. Oh Tuhan mengapa ini bisa terjadi lagi? Mungkin ada hikmah dibalik peristiwa ini. Jujur saja rasa sedih semua bercampur aduk, marah, sedih, pilu, simpati, kesall. Tetapi kita tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan ini. Saatnya kita bangkit menuju masa depan yang lebih cerah lagi, kita perangi teroris.
17 Juli 2009, hari dimana Ibu pertiwi kita menangis kembali. Ya Tuhan, kapankah aku bisa melihat Ibu pertiwi tersenyum kembali. 2 buah bom kembali memaksa meruntuhkan impian-impian seluruh bangsa Indonesia, seluruh rakyat Indonesia seakan dipaksa menangis oleh hal itu, impian-impian yang akan dienyam seakan meleleh begitu saja, seluruh dunia terhenyak akan peristiwa ini. Mengapa?? begitu teganya orang yang melakukan ini, apa sih tujuannya?? Apa hanya sebuah kepentingan pribadi, sebuah kepuasankah, sebuah kesenangankah??? Apakah mereka tidak melihat akibat yang mereka timbulkan, lalu apakah mereka senang, tertawa, gembira melihat kesedihan orang lain, melihat penderitaan orang lain.
Tetapi semua itu tidak perlu kita sesali lebih dalam lagi, kita hanya akan menyiksa diri kita sendiri. Saatnya kita bangkit bersatu padu untuk memerangi semua itu. Baik seluruh bangsa, suku, ras, agama..ayo kita bangkit menuju hari yang lebih baik...hari dimana Ibu Pertiwi tersenyum kembali melihat bangsanya yang makmur, dan aman.

Selasa, 09 Juni 2009

Udah lama ga nulis blog...

Udah berapa lama ya ga nulis blog???? 5 bulan kali ya??
Mungkin kesibukanku selama ini yg membuat aku ga nulis blog baru atau ada alasan lain ya??
Ya, kesibukankulah yang beberapa kali menunda aku tuk menulis blog lagi... hehehehe.. Praktek kerja selama satu tahun.. wuih.. banyak kerjaan & ga bisa ditunda2 lagi.....
Aku berpikir mungkin setelah praktek kerja aku bisa nulis diary lagi.. eh ternyata nggak, karena terlambat masuk sekolah udah telat 3 mingguan, n aku harus ngejar ketertinggalan beberapa pelajaran apalagi matematika... huh... untungnya bisa ngejar semua itu.... Ditambah lagi perisapan buat ujian kompetensi (serem bgt) dalam 3 hari harus selesai sebuah produk yang nantinya dipresentasikan sebagai salah satu syarat kelulusan, bergadang seharian ampe punggungku pegel2. Tapi Alhamdulillah aku bisa ngelewatin itu semua...
Setelah itu buat persiapan Ujian Teori, untunngya soalnya ga terlalu sulit.... N selanjutnya persiapan buat Unas.. selama 2 minggu digembleng abis2an.. kelas dipecah, dibuat kelas2 sendiri...yang bikin aku pusing, aku masuk kelas C1 yaitu kelasnya anak2 yg otaknya top cerr... Yg bikin aku sebelll guru Matematikanya sedikit menerangkan (maaf pak) jadi aku sulit ngikutin.. pertama2 ulangan matematika nilaiku jelek2, trus gurunya ngasih soal yg sulit2 lagi.
Eh tapi untungnya dari semua itu ada hikmahnya... aku bisa mengerjakan soal2 matematika Unas (Alhamdulillah) tapi ya nggak tau betul apa salahnya... Yach moga2 aku bisa lulus dengan hasil yang baik, supaya bisa ngelanjutin skul lagi atau mungkin kerja.. Amiinnn !!!

Jumat, 22 Agustus 2008

Upacara Di Istana Merdeka

Setelah beberapa tahun hanya bisa menyaksikan dari televisi, akhirnya Alhamdulillah saya bisa melihat secara langsung upacara HUT RI ke 63 di Istana Merdeka. Senang sekali rasanya bisa menyaksikan secara langsung upacara tsb. walaupun agak ke bagian belakang (he he). Berangkat dari kantor Setwapres pukul 09.00 sampai di istana sekitar 09.10. Lalu menuju ke tempat upacara. Senang sekali di sana karena saya bisa bertemu banyak orang. Mulai dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Pak. JK (ampe bosen), ketua MPR kita Hidayat Nurwahid, Kapolri, Para Menteri di Republik Indonesia, Artis2, sampe para reporter TV yang sering nongol di acara berita di TV.

Di dalam Istana saya bisa menyaksikan persiapan para PASKIBRAKA (pasukan pengibar bendera sangsaka). Seru sekali rasanya melihat ekspresi PASKIBRAKA sebelum dan sesudah pengibaran. Ada yang keringetan, gugup, berdoa, ampe yang menitikkan air mata (huuwaaaa). Pukul 10.00 upacara dimulai, suara sirine terdengar lalu suara meriam sebanyak..... (berapa kali ya???) berdentum di Istana. Dumm......... rasanya bergetar semua (kayak gempa bumi). Lalu pengibaran bendera, saat bendera mau dibentangkan semua orang deg2kan (berhasil apa ga ya benderanya dibentangkan?). Eh, ternyata berhasil, lalu semua orang di sekitarku bilang begini "huh, alhamdulillah". Saat lagu Indonesia Raya berkumandang rasanya hati ini deg2kan. Melihat bendera dinaikkan rasanya pingin nangis. Beda kalau upacara hari Senin di sekolah (rasanya biasa aja (kurang ajar)). Selesai sudah upacaranya, lalu semua peserta upacara ke belakang istana makan2 deh disitu.


Setelah itu, balik deh ke kantor. Abis itu nungguin di kantor ampe jam 16.30, lalu balik lagi ke Istana Merdeka tuk ngikutin upacara penurunan bendera. Sebelum upacara penurunan bendera diadakan pertunjukkan budaya di Istana mulai dari Sabang - Merauke. Juga banyak penyanyi2 ibukota yang bernyanyi. Kemudian pertunjukkan ditutup dengan atraksi menarik dari para Taruna (seru sekali pertunjukkanya!). Pukul 17.00 upacara dimulai dengan khidmat. Ampek Maghrib balik deh ke kantor.


Pukul 19.00 saya balik ke Istana merdeka tuk ngliput acara resepsi kenegaraan. Resepsi kenegaraan adalah acara para perwakilan negara2 luar (dubes) ngasih slmat ke presiden dan wakil presiden. Banyak sekali dubesnya, ada 200an negara. Setelah itu para dubes dijamu di halaman belakang Istana Merdeka dengan berbagai makanan dan pertunjukkan yang dimeriahkan oleh artis2 dan penyanyi2 ibukota. Slesai.............................!

NB : Sampe rumah jam 23.00 tidur ampe pagi bangun siang........


Kamis, 17 Juli 2008

Tips Memilih Sepatu Olahraga
Andi Abdullah Sururi - detiksport



Jakarta - Jangan anggap sepatu olahraga yang biasa Anda pakai jalan-jalan juga cocok buat dipakai berolahraga. Salah-salah pakai, bisa-bisa malah kaki Anda yang dibawa jalan-jalan ke rumah sakit.

Berikut ini beberapa tips yang mungkin bisa dijadikan acuan dalam memilih sepatu untuk berolahraga:

Jangan bikin sepatu multifungsi.

Sepatu untuk jalan biasanya lebih keras/padat; sepatu untuk olahraga (lari) lebih fleksibel, dengan bantalan ekstra untuk meredam efek getaran. Untuk kedua aktivitas itu, belilah masing-masing sepasang.

Ukur kaki secara berkala.

Jangan dikira ukuran kaki tidak berubah setelah dewasa. Menurut penelitian, makin hari ukuran kaki seseorang bisa berubah. Cek ulang ukuran kaki Anda minimal dua kali setahun.

Beli setelah beraktivitas.

(Ukuran) Kaki bisa berkembang tergantung pada aktivitas. Usahakan membeli sepatu ketika kaki dirasakan sedang dalam ukuran terbesarnya.

Bawa kaos kaki.

Karena kaos kaki menyempurnakan kenyamanan memakai sepatu, bawa kaos kaki yang biasa Anda pakai sehingga sepatu yang dijajal di toko pas dengan yang akan Anda pergunakan.

Jangan langsung merasa enak.

Jangan langsung jatuh hati pada sepatu yang ingin Anda beli hanya dengan mencobanya di depan cermin. Pakai dulu berjalan atau berlari di sekitar toko biar betul-betul enak memakainya saat berolahraga.

Sesuaikan aturan ibu jari.

Perhatikan jarak ideal sepatu dengan ibu jari kaki, punggung kaki, dan tumit kaki. Kalau terlalu longgar tentu akan selip, tapi terlalu ketat juga bisa bikin lecet.

Money doesn't lie.

Kebutuhan dan anggaran setiap orang untuk membeli sepatu olahraga pasti berbeda-beda. Tapi percaya deh, barang yang harganya Rp 50 ribu tentu berbeda kualitasnya dengan yang Rp 500 ribu.

Perhatikan kapan harus mengganti.

Idealnya, sepatu olahraga sudah bisa diganti setelah dipakai sejauh 500-600 kilometer. Juga, jika sol bawah mulai tipis dan sepatu dirasa tak nyaman lagi, sudah saatnya Anda ke toko lagi.

( a2s / din )

Rabu, 09 April 2008

Foto Bersama Ibu Mufidah Jusuf Kalla

Alhamdulillah akhirnya kesampaian juga. Hari Senin kemarin aku dan Pandalu diajak oleh fotografer yang bernama Mas Khrishadiyanto ke rumah kediaman Wakil Presiden di Jl. Diponegoro. Senang sekali rasanya bisa berkunjung ke rumah Wakil Presiden kita, apalagi bisa mondar-mandir di rumahnya sambil liat-liat keadaan rumah (kayak rumah milik sendiri aja....!). Disana aku dan Pandalu membantu sang fotografer untuk memotret Ibu Mufidah. Seneng sekali rasanya bisa bicara langsung dengan Ibu Mufidah, apalagi Ibu Mufidah sekali-sekali mengajak bercanda. Akhirnya saat-saat yang ditunggu-tunggu datang juga, aku dan Pandalu diajak foto bersama dengan ibu Mufidah. Wuih seneng sekali rasanya.........! Kapan ya bisa foto bareng Pak Jusuf Kalla.........?